oleh : Ust Hilmi Aminudin.
Target akhir dakwah kita adalah nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk)
dan li I’laai kalimatillah (meninggikan kalimah Allah), hatta laa
takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada
fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Jangan lupakan
target akhir ini.
Amal khoiri yang pendekatannya kesejahteraan, jangan dianggap sebagai
ghayah (target akhir), itu sasaran antara saja. Memang dia suatu anjuran
dari Allah, tapi dia sasaran antara dari segi dakwah, diharapkan
melalui ihsan kita menghasilkan penyikapan dan sambutan yang khoir. Hal
jazaul ihsan illal ihsan, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan
pula. Tapi ihsan kita, operasi mewujudkan kesejahteraan itu jangan
dianggap tujuan akhir. Negara-negara Eropa itu adalah Negara yang
sejahtera hidupnya. Tapi 50% penduduknya atheis.
Bagi kita, jadi camat, bupati, walikota, gubernur atau presiden, itu
sasaran antara. Akhirnya hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu
kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah). Wa kalimatullah hiyal ulya (dan kalimat Allah
itulah yang tinggi).
Jadi, amal tsaqafi, orang jadi bertsaqafah; amal khairi, orang jadi
sejahtera; itu hanyalah sasaran-sasaran antara kita. Sebab kalau
orientasi masyarakat madani itu hanya terdidik, dan sejahtera seperti di
Eropa, banyak yang mulhid, atheis walaupun terdidik dan sejahtera.
Walaupun bukan atheis terorganisir seperti komunis, style masyarakat
sebagai individu itu atheis. Bahkan memandang keagamaan itu merupakan
bagian dari budaya.
Di Jepang juga masyarakatnya sangat sejahtera. Tapi bagi mereka agama
itu kultur yang terserah selera, boleh berganti kapan saja. Orang Jepang
saat lahir umumnya disambut dengan upacara-upacara Budha. Ketika nanti
menikah dirayakan dengan upacara Kristen dan ketika meninggal dengan
upacara Sinto. Kata ikhwah yang pernah bermukim di Jepang, pernah ada
sensus keagamaan, ternyata pemeluk agama di Jepang itu tiga kali lipat
dari jumlah penduduk. Jadi mereka sebenarnya sejahtera dan terdidik.
Secara fisik, materi, mereka terlihat bahagia. Tapi yabqa ala dhalalah
(tetap dalam kesesatan).
Nah kita sebagai partai dakwah tidak begitu. Maksud saya, kalau kita
sudah bisa mentau’iyah (menyadarkan), menjadi terbuka, bebas,
demokratis, , menjadi terdidik, atau menyejahterakan sekalipun,
perjalanan kita masih tetap jauh. Sebab sesudah itu, bagaimana mereka
bisa kita konsolidasikan, bisa kita koordinasikan, kita mobilisasikan,
litakuuna kalimatulladziina kafaru sulfa wa kalimatullahi hiyal ‘ulya.
Ini penting untuk selalu diingatkan dan dicamkan.
Apalagi di masa-masa
musyarokah (partisipasi politik) ini.
Jangan merasa sukses menjadi pemimpin Pemda itu ukurannya sekedar telah
membangun sekolah sekian, madrasah sekian, kesejahteraan, pertanian
subur; sementara hidayah tercecer. Makanya keterpaduan langkah-langkah
yang sifatnya tarfih (kesejahteraan), atau tatsqif (mencerdaskan bangsa)
harus sejajar dengan upaya-upaya mendekatkan orang pada hidayah Allah.
Harus begitu.
Ini saya ingatkan karena ketika kita di masyarakat dituntut di sektor
kesejahteraan, di sektor kebijakan, di sektor pendidikan, di sektor
kesehatan; maka harus secara menyatu terpadu dengan nasyrul hidayah
(menyebarkan petunjuk Islam), nayrul fikrah (menyebarkan gagasan Islam),
wa nasyrul harakah (penyebaran gerakan dakwah). Agar mereka akhirnya
bergerak bersama-sama li I’lai kalimatillah.
"You are what you believe. Be mindful with your mind"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment