Oleh : Arif R. Haryono
Saya bukan penggemar pemikiran Fahri Hamzah,
politisi PKS yang terkenal vokal dalam menyuarakan pendapatnya. Tak
pernah membeli bukunya, jua sebatas follow di twitter itu pun
sering tak menyimak kultwit-nya yang kerap memenuhi linikala – terutama
ketika dengan berapi-api menceritakan romantika “1 Atap 2 Cinta” Anis
Matta yang konon memecahkan rekor kultwit politisi Indonesia.
Tetapi saya tertarik membahas pandangan Fahri
Hamzah mengenai agenda pemberantasan korupsi di Indonesia yang kelewat
gaduh di hadapan media. Atau meminjam kalimat beliau: telah terjadi
festivalisasi pemberantasan korupsi.
Tegas tanpa tedeng-aling, kuat nan mengkritisi
hingga Presiden pun melayangkan somasi. Itu sisi positif. Saya akui.
Seumur-umur saya men“target”kan di-block akun SBY aja belum kesampaian, beliau sudah disomasi oleh Sang Bersangkutan Yangmulia. Oh, betapa dunia tak adil.
Pandangan sinis? Seorang lulusan ekonomi bicara
penegakan hukum? Ayolah, Indonesia tak pernah kehabisan lulusan hukum
berkualitas, lalu mengapa beliau bisa mendapat sorotan media tiap kali
berpendapat? Peta pemikirannya terbentang mulai dari isu “Bubarkan KPK”,
“Periksa Ibas di Hambalang”, “Pimpinan KPK bermain politik dalam kasus
century”, hingga persoalan “Festivalisasi Pemberantasan Korupsi” menjadi
buah bibir pelbagai forum media elektronik dan daring. (maaf, forum warteg kelihatannya lebih semangat membicarakan vicky prasetyo, farhat abbas, hingga asmirandah yang berpindah agama).
***
Festivalisasi pemberantasan korupsi ini cukup
nikmat dibahas, bukan karena masa pemerintahan koalisi SBY (yang juga
turut disokong oleh PKS) sedang memasuki senja kekuasaannya. Bukan pula
karena pak Presiden yang sibuk membagi waktu dan pikirannya sebagai
pemimpin besar pemberantasan korupsi di nusantara yang luas atau di
dalam tubuh partainya sendiri.
Tidak, bukan itu.
Kritik festivalisasi pemberantasan korupsi
yang disuarakan Fahri Hamzah kepada KPK di pertengahan 2013 lalu
mendapatkan relevansinya ketika saya menikmati film gubahan David O.
Russell yang sedang naik daun, American Hustle.
Menurut Fahri Hamzah, aparat hukum – dalam
hal ini KPK – telah terjebak dengan keriuhan kegiatan pemberantasan
korupsi di depan media, ketimbang mencoba mencari akar persoalan dan
mencabutnya habis-habis. Maka tak heran, berita prestasi penangkapan
pejabat pemerintahan itu lebih disambut tinimbang laporan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) yang membaik.
Konon, medio 1970-an Amerika sedang mengalami
beberapa krisis yang cukup memukul telak perekonomiannya. Takluk di
perang vietnam hingga skandal watergate yang mampu menyentuh pucuk pimpinan sebuah bangsa adidaya mau tak mau membuat perekonomian Amerika saat itu gak-bagus-bagus-amat.
Keberhasilan penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi di tingkat elit melalui skandal watergate memunculkan hipotesa bahwa *semua*
politisi negeri bermain api dan memiliki keterkaitan dengan uang haram
dari mafia dan cukong proyek. Modus operandinya sederhana, pejabat
pemerintahan disuap demi memperoleh kemudahan atau “keleluasaan”
berbisnis. Sumber dananya tentu saja haram. Persis seperti dugaan yang
dikembangkan oleh KPK dan kawan-kawan aktivis pemberantasan korupsi di
Indonesia.
***
Tersebutlah,
seorang agen muda nan ambisius dari FBI, Richard “Richie” DiMaso
(Bradley Cooper), yang tujuan hidupnya cukup sederhana: memimpin tim
aksi pembongkaran jaringan korupsi proyek pemerintahan dan menyeretnya
ke hadapan pengadilan. Tentu sebelum diseret, sang pesakitan akan
terlebih dahulu dipampang di hadapan media beserta bukti-bukti yang
memberatkan. Semacam “festivalisasi pemberantasan korupsi” dalam
definisi Fahri Hamzah. Richie pun berangan-angan terkerek karirnya.
Untuk memuluskan rencana
tersebut, Richie bekerjasama – atau lebih tepatnya, memaksa bekerja sama
– dengan pasangan penipu ulung Irving Rosenfeld (Christian Bale) dan
Sydney Posser (Amy Adams) untuk menjebak, Carmine Polito (Jeremy
Renner). FBI pun mulai memantau aktivitas walikota simpatik nan populer
dari New Jersey ini yang diduga memiliki hubungan dengan jaringan mafia
demi memuluskan ambisinya memajukan perekonomian kota yang dipimpinnya.
Jangan salah, Carmine bukanlah politisi
kotor, ia hanya terlalu lemah hati dan terjebak bujukan Irving untuk
menggunakan “jalan belakang” yang cepat dan *sedikit* melanggar
hukum. Dari mana sumber pendanaannya? Tenang, Richie dan Irving sudah
mempersiapkan patron bagi sang walikota, seorang milyuner dari Arab
Saudi – yang tentu saja juga seorang agen FBI yang menyamar.
Operasi tangkap-tangan pun dijalankan. Trio
Richie-Irving-Sydney menjebak beberapa politisi kawakan, beberapa bahkan
dapat diklasifikasikan veteran di tataran wakil rakyat. Sebuah set
kamar di hotel mewah dipersiapkan, lengkap dengan video kamera
tersembunyi, berusaha menangkap momen transaksi dan “tangkap-tangan” a
la FBI, yaitu koper berisi uang harus diterima langsung oleh yang
bersangkutan. Jika tidak, jangan harap kuat di muka juri dan hakim.
Persoalan muncul ketika Richie semakin tidak
terkontrol dan ingin terus menggali jaringan koruptif ini, tak sekedar
di level Carmine semata. Sisi lain, Irving ingin bermain aman dan tidak
menyentuh pemain utama, Victor Tellegio (Robert De Niro) yang konon
merupakan first-mate dari Meyer Lansky. Saya sarankan anda google nama terakhir untuk mendapatkan gambaran lengkap sepak-terjangnya.
Lagi-lagi, niat Richie dapat diperdebatkan:
konsisten membongkar jaringan koruptif atau sekedar ingin menunjukkan
prestasinya plus bumbu narsisme di depan media? Atau dalam bahasa Fahri
Hamzah: sistem dan aksi pemberantasan korupsi dilakukan secara
sunyi-senyap atau gegap-gempita di hadapan media?
“Kamu berhasil menangkap beberapa anggota
kongres. Kamu terlihat hebat, Richard. Kisahmu akan berada di setiap
halaman depan koran-koran. Kamu tahu apa yang tidak terlihat hebat?
Cerita tentang inkompetensi yang nyata!” ujar Irving pada Richie.
***
Silahkan anda memilih mana yang terbaik bagi
pemberantasan korupsi di Indonesia. Persoalannya, adakah proses dan aksi
pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan oleh penegak hukum,
baik itu KPK, jaksa, hakim, hingga polisi mampu mengerek Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) di Indonesia?
Adakah anda termasuk yang bertepuk-tangan setiap
KPK – atau kepolisian – menggiring pejabat, politisi, pengusaha, kepala
daerah, ke dalam mobil tahanan? Bukankah kita semestinya diajarkan
gembira kala laporan hasil penelitian lembaga independen menyatakan
indeks korupsi kita melonjak tinggi mengalahkan negara-negara
skandinavia?
Bisa jadi, kita semua adalah Richie yang meski
berambisi memberantas korupsi, tapi tak mau lepas dari sorotan media.
Atau bisa jadi, strategi Irving-Sydney dalam membongkar jaringan
koruptif di American Hustle dengan menyamar dan penjebakan dapat ditiru
aparat hukum di sini.
Bukankah yang terpenting adalah kegagahan di depan
sorotan lensa pewarta berita kala sang tersangka digiring ke mobil
tahanan? Bukankah yang esensi adalah headline soal penangkapan
seorang pejabat? Bukankah keberhasilan menangkap pelaku korupsi itu
lebih seksi di mata media dan masyarakat ketimbang tentang pencegahan
tindakan koruptif?
Kinerja dan laporan kemajuan IPK itu tidak penting, toh tak disorot ini…..
0 komentar:
Post a Comment