Thursday 30 January 2014

Fahri : Pemberantasan Korupsi Tak Memerlukan Polisi Dan Jaksa Tapi Akal Besar


Ada saja berita gembira, PILKADA ULANG MALUKU UTARA PKS MENANG!// http://t.co/2W70g2XBZq. Tiba saatnya kita terus yakin bahwa usaha kita takkan sia2 ..Rakyat toh akan memilih hanya 12 partai di pusat... MALUKU UTARA ini contoh...Sebab kecurangannya sangat gila. ..Toh Alhamdulillah PKS menang.

Di atas kuasa orang dan uang, ada kuasa Tuhan. DAN DIA TAK PERNAH TIDUR. Uang tak boleh pernah menjadi sebab semangat kita bergelora atau memudar. PKS partai yg percaya diri. Justru PKS harus mendidik mereka yang menganggap bahwa partai harus punya konglomerat karena itu sesat. Seperti sekarang, demokrasi politik Indonesia agak menyedihkan. Karena gagal memahami peran uang dalam politik.

Ada kecenderungan personalisasi keuangan politik dari hulu sampai hilir. Aturan kampanye kita di hulu sungguh memprihatinkan karena KPU mengatur kompetisi individu yg ketat. Tapi ketika kompetisi ketat, KPU juga melarang Caleg menerima sumbangan sehingga politik jadi masalah pribadi. Hari2 ini para Caleg yang pas2an mulai menjual hartanya atau mencari donatur gelap.
Inilah yang saya sebut sebagai personalisasi politik. Padahal politik tak pernah boleh jadi private. 

Politik pada awalnya adalah persoalan publik. Karenanya partai politik adalah tangga menuju negara. Jika kita tidak membersihkan politik dari soal private maka korupsi sedang diternakkan dalam politik. Inilah akar korupsi yang tak pernah mau ditinjau oleh hampir semua orang. Padahal bencana korupsi kita awalnya ini. Itu yang sering saya katakan bahwa pemberantasan korupsi tak memerlukan polisi dan jaksa tapi akal besar.

Polisi dan jaksa, KPK atau hakim tak bisa berantas korupsi yang bisa adalah para pemikir sistem. Tahukah anda kenapa banyak pejabat terjebak melakukan fund rising? Pertama2 kembali modal. Personalisasi pembiayaan korupsi adalah alasan utama para pejabat ingin kembalikan modal kampanye. Solusi masalah ini sdh jelas...hanya kita gak mau mengambilnya sebagai solusi.

Tepatnya kalau PKS menang, solusi akan diterapkan secara komprehensif. Tentu banyak perangkat yang harus dibangun dalam menjaring korupsi dalam sistem. Tunggu tgl mainnya. Tapi yang mencemaskan adalah kecenderungan parpol dibiayai oleh satu orang/konglomerat. Bahkan ada konglomerat mendirikan partai dengan membayar Caleg nya. ..Seperti beternak burung perkutut.

Repot nya oleh publik dianggap itu yang benar bahkan heroism. ..padahal itu kesesatan yang nyata. Sekarang coba urut...nama2 partai maka pasti ada konglomerat atau raja media di belakangnya. Dan kehadiran konglomerat dianggap solusi atas sulitnya parpol mencari sumber pembiayaan. Dalam diskusi tentang pembiayaan saksi juga demikian...dengan gagahnya partai konglomerat ini menyalahkan. Mereka bilang "gak usah bikin partai kalau gak sanggup biaya saksi", ini sesatnya luar biasa.

Personalisasi dan kesesatan publik inilah yang menjadi akar suburnya masalah etika di Indonesia. Mulai di hulu politik hingga di hilir. ..sejak dipilih sampai akhirnya mengelola kekuasaannya. Orang2 kita tidak percaya sistem dan lebih senang show sendiri daripada menegakkan wibawa sistem dan institusi.
Jadi akar korupsi politik adalah personalisasi. Maka rahasia inilah yg dipecahkan oleh semua negara. Maka kalau kita survey 10 negara terbaik Index Persepsi Korupsinya, soal uang politik inilah kuncinya. Siapa yang berani mengatur keuangan politik secara tuntas maka korupsi hilang.

Kalau PKS jadi presiden, maka Paket Keuangan Politik akan di-perpu pada 100 hari pertama. Kalau hanya menang di DPR maka kita bisa punya voting lebih besar untuk memaksakan agenda ini. Intinya pemberantasan korupsi sederhana. ..asal ada keberanian mengatur secara tuntas...lubangnya tutup! Sekarang ini kayak kapal bocor...kita sibuk buang air yg masuk kapal tapi bocor tak pernah ditutup.. Malah ada kecenderungan bocor ditambah banyak supaya kelihatan makin "sibuk" membuang air yg masuk kapal. Mari kita akhiri kegilaan ini di pemilu 9 April 2014 nanti.

0 komentar:

Post a Comment